Fitoremediasi sebagai Sebuah Teknologi Pemulihan
Pencemaran, Khususnya Logam Berat

Budhi Priyanto dan Joko Prayitno

Abstrak
Penggunaan logam berat dan senyawa organik secara intensif di dalam industri
telah menimbulkan kontaminasi di tanah dan air.
Metode-metode remediasi berbasis fisika dan kimia telah dikembangkan dan diterapkan untuk mengatasi pencemaran.
Dalam dua dekade terakhir penelitian, pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis tumbuhan mendapat perhatian luas di Amerika, Australia, dan Eropa.
Metode remediasi yang dikenal sebagai fitoremediasi ini mengandalkan pada peranan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik. Mengingat akan kekayaan hayati tumbuhan Indonesia yang besar serta ditunjang oleh iklim yang hangat sepanjang tahun, tentunya sumbangan tumbuhan untuk mengendalikan pencemaran perlu dikaji dan akhirnya diterapkan bila teknologinya ternyata menguntungkan. Berdasar pada bahan-bahan yang dipublikasi, makalah ini mencoba menguraikan dasar-dasar fitoremediasi, mekanisme bekerjanya tumbuhan dalam menyerap logam berat, serta contoh penerapan fitoremediasi.

Kata kunci: fitoremediasi, logam berat, senyawa organik, tumbuhan, hiperakumulator, pencemaran, lahan, perairan

1. Pendahuluan

Secara alami berbagai logam berat terkandung di dalam tanah, terutama tanah yang berasal dari batuan induk tertentu seperti tanah ultramafik (serpentin). Namun kegiatan manusia dapat meningkatkan level logam berat di dalam tanah dan perairan secara luar biasa. Pencemaran logam berat di lahan sekitar penambangan dan peleburan logam tercatat sangat tinggi. Hasil kajian di kawasan bekas peleburan seng di Palmerton, Pennsylvania (AS) yang telah beroperasi selama 82 tahun (Storm, et al., 1994) dan daerah pertambangan logam timbal dan seng di Kansas (AS) yang telah beroperasi selama 150 tahun (Pierzynski dan Schwab, 1993) menunjukkan, bahwa tingkat pencemaran logam berat di tanah dan air masih tetap tinggi walaupun kegiatan industri di situ telah dihentikan beberapa tahun sebelumnya.

Storm, et al. (1994) yang mengamati kandungan logam berat di dalam serasah dan tanah di kawasan bekas pabrik peleburan seng di Palmerton, pada enam tahun setelah pabrik ditutup, menemukan kadar logam kadmium sebesar 1.292 mg/kg, timbal sebesar 3.656 mg/kg, seng sebesar 28.160 mg/kg, dan tembaga sebesar 742 mg/kg. Pada bekas tambang yang telah ditutup 40 tahun sebelum pengamatan dilakukan, Pierzynski dan Schwab (1993) menemukan, bahwa timbunan batuan sisa penambangan, tailing dan slag ternyata meninggalkan sisa pencemaran yang tinggi, yaitu 1.165 mg Zn/kg, 11 mg Cd/kg dam 110 mg Pb/kg. Demikian pula tingkat pencemaran merkuri di wilayah sekitar bekas pabrik khlor-alkali yang menggunakan merkuri sebagai katalis tercatat sebesar 1,060 mg/kg atau kurang lebih 17 kali lebih tinggi daripada kadar merkuri di tanah tidak tercemar (Rule dan Iwashchenko, 1998).

Tingkat pencemaran logam berat sebagai akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali tampak pula dari data kandungan 4 logam berat di Jakarta dan sekitarnya (Priyanto dan Suryati, 2000). Di daerah yang kegiatan industrinya menonjol dan telah berlangsung dalam jangka lama tingkat pencemaran timbal dan kromium di tanah masing-masing mencapai 206-449 mg/kg dan 56-266 mg/kg. Sebaliknya, di wilayah sub-urban yang jauh dari kegiatan industri kadar timbal dan kromium di tanah hanya sebesar 24 dan 1 mg/kg.

Konsentrasi logam berat yang tinggi di dalam tanah dapat masuk ke dalam rantai makanan dan berpengaruh buruk pada organisme. Di sekitar Palmerton, kadar Cd setinggi 10 mg/kg ditemukan di dalam ginjal tikus, sedangkan kadar Cd di dalam ginjal dan hati rusa adalah 5 kali lebih tinggi daripada yang ditemukan di tubuh rusa yang hidup di daerah 180 km dari daerah ini (Storm, et al., 1994). Demikian pula ditemukan, bahwa kadar seng yang tinggi di tanah bekas penambangan logam mengakibatkan reduksi produksi kedelai hingga 40% (Pierzynski dan Schwab, 1993).

Tindakan pemulihan (remediasi) perlu dilakukan agar lahan yang tercemar dapat digunakan kembali untuk berbagai kegiatan secara aman. Di samping metode remediasi yang biasa digunakan yang berbasis pada rekayasa fisik dan kimia, pada satu atau dua dasawarsa terakhir ini perhatian peneliti dan perusahaan komersial serta industri terhadap penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan tercemar telah meningkat. Makalah ini mencoba memberikan uraian mengenai peranan tumbuhan dalam pengendalian dan pemulihan pencemaran, dengan menitikberatkan perhatian pada logam berat.

 

2. Prinsip-prinsip Fitoremediasi

 

 

2.1. Definisi

 

Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (= "tumbuhan") dan remediation yanmg berasal dari kata Latin remedium ( ="menyembuhkan", dalam hal ini berarti juga "menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan") (Anonimous, 1999b). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik.

Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun.

 

 

2.2. Penyerapan Logam Berat oleh Tumbuhan

 

2.2.1. Tumbuhan hiperakumulator logam

 

Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Kebanyakan tumbuhan mengakumulasi logam, misalnya nikel, sebesar 10 mg/kg berat kering (BK) (setara dengan 0,001%). Tetapi tumbuhan hiperakumulator logam mampu mengakumulasi hingga 11% BK. Batas kadar logam yang terdapat di dalam biomassa agar suatu tumbuhan dapat disebut hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada jenis logamnya (Baker, 1999). Untuk kadmium, kadar setinggi 0,01% (100 mg/kg BK) dianggap sebagai batas hiperakumulator. Sedangkan batas bagi kobalt, tembaga dan timbal adalah 0,1% (1.000 mg/kg BK) dan untuk seng dan mangan adalah 1% (10.000 mg/kg BK).

Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada tahun 1948 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel setinggi 1,2% dalam daun Alyssum bertolonii. Sejak itu, terutama dengan mengandalkan analisis mikro terhadap spesimen herbarium, diketahui ada 435 taxa tumbuhan hiperakumulator logam yang tumbuh tersebar di lima benua dan semua wilayah iklim (Baker, 1999). Tabel 1 memperlihatkan daftar jenis tumbuhan yang diketahui mempunyai sifat hiperakumulator atau bersifat toleran terhadap logam berat. Tumbuhan hiperakumulator nikel diketahui lebih dari 150 spesies; sekitar 50 jenis ditemukan di Kaledonia Baru, 70 jenis (terutama dari 6 genera Brassicaceae) di daerah dingin di belahan utara bumi, dan sisanya ditemukan di Indonesia, Kuba, Zimbabwe, Afrika Selatan, Brazil dan Filipina (Batianoff et al., 1990).

Kemampuan sebagian tumbuhan tersebut dalam menyerap dan mengakumulasi logam berat diperlihatkan dalam Tabel 2. Di antara tumbuhan hiperakumulator tersebut, Sebertia acuminata dari Kaledonia Baru perlu mendapat catatan khusus karena kemampuannya yang luar biasa dalam mengakumulasi nikel. Sedemikian besarnya kadar nikel di dalam lateksnya sehingga bila batang dilukai, lateks yang keluar berwarna hijau-biru, yaitu warna nikel oksida (Reuther, 1998).

 

2.2.2. Mekanisme penyerapan logam oleh tumbuhan

 

Penyerapan dan akumulai logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut.

 

2.2.2.1. Penyerapan oleh akar. Telah diketahui, bahwa agar tumbuhan dapat menyerap logam maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada spesies tumbuhannya:

Perubahan pH. Pada Thlaspi cearulescens, mobilisasi seng dipacu dengan terjadinya penurunan pH pada daerah perakaran sebesar 0,2-0,4 unit (McGrath, 1997).

Ekskresi zat khelat. Mekanisme penyerapan besi lewat pembentukan suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor telah diketahui secara mendalam pada jenis rumput-rumputan (Marschner dan Romheld, 1994). Molekul fitosiderofor yang terbentuk ini akan mengikat (mengkhelat) besi dan membawanya ke dalam sel akar melalui peristiwa transport aktif. Selain aktif terhadap besi, fitosiderofor dapat mengikat logam lain seperti seng, tembaga dan mangan. Sekarang diketahui, bahwa berbagai molekul lain berfungsi serupa, misalnya histidin yang meningkatkan penyerapan nikel pada Alyssum sp. (Kramer et al., 1996) dan suatu senyawa peptida khusus, fitokhelatin, yang mengikat selenium pada Brassica juncea (Speiser et al., 1992) dan logam lain seperti timbal, kadmium dan tembaga (Gwozdz et al., 1997).

Pembentukan reduktase spesifik logam. Di dalam meningkatkan penyerapan besi, tumbuhan membentuk suatu molekul reduktase di membran akarnya (Marschner dan Romheld, 1994). Reduktase ini berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran akar.

 

2.2.2.2. Translokasi di dalam tubuh tumbuhan. Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam harus diangkut melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem, ke bagian tumbuhan lain. Untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni (Kramer et al., 1996) dan fitokhelatin-glutation yang terikat pada Cd (Zhu et al., 1999).

 

2.2.2.3. Lokalisasi logam pada jaringan. Untuk mencegah peracunan logam terhadap sel, tumbuhan mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun logam di dalam organ tertentu seperti akar (untuk Cd pada Silene dioica [Grant et al., 1998]), trikhoma (untuk Cd [Salt et al., 1995]), dan lateks (untuk Ni pada Serbetia acuminata [Collins, 1999]).

 

 

2.3. Tumbuhan Lahan Basah Sebagai Pembersih Air

 

2.3.1. Tumbuhan lahan basah

 

Menurut Hammer dan Bastian (1989), lahan basah adalah habitat peralihan antara lahan darat dan air, jadi bukan merupakan habitat darat ataupun habitat air. Ekosistem lahan basah memiliki kemampuan alamiah untuk menghilangkan berbagai jenis limbah pada beberapa tingkat efisiensi (Nichols, 1983). Kemampuan ini terutama disebabkan karena adanya vegetasi yang berperan sebagai pengolah limbah. Karena sistem ini belum tentu dapat mengolah seluruh jenis kontaminan, maka perlu dirancang sistem lahan basah buatan untuk mengolah limbah tertentu. Jika sistem ini dapat dibuat sedemikian rupa sebagai pengolah limbah sekunder atau pengolah akhir, maka dengan menggunakan biaya konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang lebih rendah kualitas air dapat ditingkatkan.

Berbagai jenis tumbuhan lahan basah alami telah beradaptasi dan tumbuh baik di dalam air atau tanah yang jenuh air. Hingga kini, data mengenai tanaman apa saja yang dapat digunakan, sifat tanaman lahan basah, adaptasinya pada lingkungan dan efeknya pada lingkungan terutama untuk peningkatan kualitas air masih sedikit. Dari 1000 spesies tumbuhan air yang berhasil didata (Sculthorpe, 1969), hanya sedikit jenis tumbuhan lahan basah yang digunakan dalam studi pengolah limbah (Tabel 3).

Tumbuhan lahan basah telah berevolusi agar hidup di lingkungan yang didominasi oleh air melalui adaptasi struktur dan fisiologinya, yaitu dengan membentuk jaringan lakuna atau aerenkhima di dalam akar dan batangnya untuk pertukaran gas oksigen dari bagian batang ke akar. Perubahan lain terlihat pada tumbuhan mengapung, yaitu dengan membentuk daun yang bulat penuh untuk menjaga agar tidak sobek, tekstur seperti kulit yang kuat, dan permukaan atas yang hidrofobik untuk menjaga agar tidak basah. Tidak seperti pada tanaman darat pada umumnya, stomata tumbuhan mengapung ditemukan di bagian sisi sebelah atas daun (Guntenspergen et al., 1989).

 

2.3.2. Fisiologi tumbuhan lahan basah

 

Unsur hara diserap oleh tumbuhan air melalui beberapa cara, antara lain melalui akar rambut atau daun yang termodifikasi (pada Salvinia dan Lemna) langsung dari kolom air atau dengan akar yang menancap pada sedimen.

Produktivitas tumbuhan lahan basah bergantung pada ketersediaan sumber daya, cekaman lingkungan dan adaptasinya terhadap lingkungan. Urutan produktivitas dari yang tertinggi adalah sebagai berikut: tanaman timbul > tanaman mengapung > tanaman dalam air.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi distribusi spesies dan pertumbuhan tumbuhan di lahan basah antara lain:

Kedalaman air yang berkorelasi dengan pasokan oksigen dan cahaya (Guntenspergen et al., 1989).

Laju aliran air mempengaruhi ketersediaan oksigen dan hara. Laju aliran air yang meningkat juga berpengaruh terhadap penurunan efek toksik dari senyawa-senyawa dalam substrat (Sparling, 1966).

Untuk tanaman tenggelam, sedimen tersuspensi mempengaruhi kuantitas dan kualitas dari komposisi substrat dan cahaya.

Komposisi substrat berpengaruh terhadap kedalaman perakaran; tanah dengan kadar organik tinggi bisa menyebabkan kondisi anaerobik dan menyebabkan logam (seperti besi dan mangan) berubah menjadi senyawa terlarut yang toksik (Haslam, 1978).

Suhu air dan udara mempengaruhi reaksi biokimia dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman bila batas toleransi suhu terlampaui (Barko et al., 1982).

 

2.3.3. Tumbuhan lahan basah sebagai pengolah limbah

 

Ekosistem lahan basah memiliki kemampuan alamiah untuk menghilangkan pencemar organik. Kemampuan ini terutama disebabkan karena adanya tumbuhan lahan basah yang berperan sebagai pengolah limbah hingga memenuhi kriteria baku mutu limbah. Pengetahuan tentang pengaruh lingkungan terhadap tumbuhan lahan basah merupakan kunci untuk menentukan jenis vegetasi yang cocok dipakai pada sistem pengolah limbah.

Tumbuhan timbul dipakai untuk pengolah limbah karena tumbuhan tersebut mengasimilasi senyawa organik dan anorganik dari limbah. Tumbuhan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan tajuk yang besar dapat menyimpan bermacam hara mineral. Pada media kerikil, pertumbuhan tanaman timbul dapat menurunkan konsentrasi hara mineral (Laksham, 1979; Finlayson dan Chick, 1983; Bowmer, 1987). Rizoma dan akar Phragmites australis Scirpus spp. berfungsi sebagai filtrasi dan pengendap senyawa hidrokarbon dan logam berat beracun. Tingkat konsentrasi logam berat dalam jaringan tanaman-tanaman tersebut adalah sebagai berikut: akar > rizoma > daun (Shutes et al., 1993). Tumbuhan mengapung seperti eceng gondok juga dapat menghilangkan hara dan logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan (Reddy dan DeBusk, 1985).

Pada tumbuhan timbul, oksigen yang ditransportasikan ke jaringan di bawah tanah dapat keluar dari akar dan mengoksidasi substrate di sekelilingnya. Oksidasi substrat tersebut mendukung populasi mikroba aerobik dalam rizosfir (Gersberg et al., 1986). Mikroba-mikroba itu memodifikasi hara, ion logam (misalnya besi dan mangan dioksidasi dan diimmobilisasi) dan senyawa organik. Metabolisme mikroba secara aerobik juga mendetoksifikasi senyawa-senyawa yang beracun bagi tanaman.

 

 

3. Penerapan Fitoremediasi

 

 

Sesungguhnya ide mengenai penggunaan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan bukan hal yang baru. Sejak lama kita telah mengenal manfaat tumbuhan sebagai "pengusir zat beracun dari udara" sehingga adanya tumbuhan dianggap sebagai penyegar udara di sekitarnya. Dengan makin dipahaminya fisiologi dan genetika tumbuhan, maka pemanfaatan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan dapat makin diperluas cakupannya dan diperhitungkan manfaatnya dari segi rekayasa serta nilai ekonominya.

 

 

3.1. Tumbuhan Darat untuk Remediasi Lahan Terkontaminasi

 

Pemanfaatan tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat ditentukan oleh pemahaman tentang penyerapan logam serta penyerapan dan atau degradasi senyawa organik oleh tumbuhan. Pada dasawarsa terakhir terjadi akumulasi yang cepat tentang pengetahuan mengenai aspek-aspek fisiologi tersebut. Chaney dan koleganya dari USDA-ARS yang aktif meneliti dan mengembangkan manfaat tumbuhan untuk remediasi logam telah mengidentifikasi karakteristik penting, sebagai berikut (Chaney et al., 1997):

Tumbuhan harus bersifat hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang serta daun.

Tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan tanah dengan laju penyerapan yang tinggi.

Tumbuhan harus mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun.

Seperti telah dikemukakan di muka, beberapa jenis tumbuhan mempunyai sifat hiperakumulator yang luar biasa. Namun biasanya tumbuhan yang teradaptasi di tanah berkadar logam tinggi dan toleran terhadap logam mempunyai sifat tumbuh lambat. Karakter manakah yang lebih penting, sifat "hiperakumulator tetapi tumbuh lambat" atau "tumbuh cepat tetapi toleransi medium", memang bisa menjadi bahan perdebatan bila sudah sampai pada persoalan memilih jenis tumbuhan yang sesuai. Kelompok di USDA-ARS (Chaney et al., 1997) yakin bahwa hipertoleransi lebih penting daripada biomassa tinggi, dengan alasan sebagai berikut. Dalam kondisi optimum, Brassica juncea dapat menghasilkan hingga 20 t/ha/musim tanam biomassa kering. Tanaman ini mampu mengakumulasi Zn dan Cd, namun pertumbuhannya akan terhambat hingga separuhnya bila kadar Zn dalam biomassa mencapai 500 mg/kg. Dengan demikian pada tingkat hasil biomassa sebesar 10 t/ha, tanaman ini hanya mampu mengambil 5 kg Zn/ha. Di pihak lain Thlaspi cearulescens dapat mengakumulasi hingga 25.000 mg Zn/kg tanpa reduksi hasil. Dengan demikian bahkan pada hasil panen hanya sebesar 5 t/ha, jumlah seng yang ditarik dari dalam tanah mencapai 125 kg/ha atau 25 kali yang dicapai oleh Brassica juncea. Penggunaan tumbuhan hiperakumulator juga lebih menguntungkan bila kita harus mendaur ulang logam yang telah dihimpun di dalam biomassa tumbuhan. Karena dengan kadar akumulasi tinggi, biomassa yang harus ditangani jelas jauh lebih sedikit.

Di pihak lain, usaha untuk meningkatkan akumulasi logam berat, khususnya timbal, telah dilakukan di beberapa laboratorium. Ilya Raskin dan kolega di AgBiotech Center berusaha menaikkan tingkat akumulasi Pb oleh Brassica juncea dengan memberikan zat pengkhelat ke dalam tanah (Blaylock et al., 1997). Hasilnya menunjukkan, bahwa dengan memberikan khelator EDTA ke dalam tanah yang mengandung 600 mg Pb/kg, tumbuhan Brassica juncea mampu mengakumulasi Pb hingga 1,5% biomassanya. Dengan demikian bila dianggap hasil biomassa adalah 12 t/ha, maka sebanyak 180 kg Pb/ha dapat diambil dari dalam tanah. Untuk mencapai hasil yang tinggi ini tambahan biaya untuk pemberian EDTA diperhitungkan sekitar US$7,50/t tanah yang digarap. Hasil penelitian Scott Cunningham dan kolega di DuPont mendukung penemuan Raskin dan kawan-kawan tersebut (Huang et al., 1997). Dalam percobaan di tanah yang terkontaminasi, penambahan EDTA ke dalam tanah dapat meningkatkan akumulasi Pb pada jagung dan Pisum sativum dari 500 mg/ka menjadi >10.000 mg/kg (setara dengan >1% BK). Nilai akumulasi sebesar itu dianggap sebagai batas ekonomis bagi fitoremediasi.

Dari pembahasan di atas tampak, bahwa untuk mencapai fitoremediasi yang efisien sesungguhnya dapat dilakukan dua pendekatan, yaitu menggunakan tumbuhan hiperakumulator yang sesuai dan menerapkan teknik budidaya serta manipulasi pertumbuhan yang tepat. Dengan usaha manipulasi genetika serta agronomi, biomassa tumbuhan hiperakumulator dapat ditingkatkan; demikian pula tumbuhan yang menghasilkan biomassa banyak dapat ditingkatkan daya akumulasi logamnya dengan manipulasi agronomi.

Sementara para ahli terus berusaha mencari tumbuhan hiperakumulator yang sesuai, beberapa proyek terapan telah dicoba. Phytotech, Inc. telah melakukan percobaan terapan di lapangan untuk mengambil logam berat dan radioaktif dari dalam tanah di AS dan Ukraina (Anonimous, 1999). Proyek di Trenton, NJ, berhasil mereduksi kandungan timbal di dalam tanah ke level di bawah ambang batas untuk pemukiman (400 ppm). Pada proyek lain di Boston, metode fitoekstraksi berhasil menurunkan kadar timbal dalam tanah dari 1.200 ppm menjadi <600 ppm dalam 6 musim tanam. Sukses yang serupa diperoleh di lokasi industri di Findlay, Ohio, yang berhasil menghilangkan kadmium dan seng. Proyek Phytotech yang menarik adalah penghilangan strontium dan cesium radiokatif di Reaktor Nuklir Chernobyl di Ukraina. Proyek serupa untuk menghilangkan uranium dari limbah cair prosesing uranium di Ashtabula, Ohio, mengandalkan pada kemampuan tanaman bunga matahari untuk mengambil dan mengakumulasi uranium dari air limbah. Dengan kultur air tersebut dicapai faktor bioakumulasi sebesar 30.000 sehingga hasil akhirnya memenuhi standar kualitas air EPA.

Selain mempunyai kemampuan menyerap logam berat, tumbuhan mampu menyerap dan mendegradasi zat organik serta hara. Kemampuan ini telah dimanfaatkan dalam pengendalian serta pemulihan lingkungan yang tercemar. Di dalam aplikasi di lapangan sering berbagai jenis tumbuhan dipadukan mengingat keunggulan yang dipunyai oleh tiap jenis (Schnoor et al., 1995). Contoh aplikasi yang telah dilakukan di lapangan meliputi reduksi berbagai senyawa organik seperti atrazin, chlordane, chlorinated solvent, nitrobenzena, trinitrotoluena (TNT), trinitroetilena, pentakhlorofenol, dan phenanthrene; serta senyawa anorganik seperti nitrat dan amonium. Sebagian besar dari aplikasi ini adalah operasi skala penuh di lapangan.

Di antara jenis pohon, poplar (Populus deltoides) dan willow (keduanya dari familia Salicaceae) mendapat perhatian khusus karena perakarannya yang dalam dan kemampuannya mendegradasi berbagai zat organik (Schnoor et al., 1995). Di Iowa, 4 barisan poplar hibrida (8 m lebarnya dengan 10.000 tanaman/ha) ditanam untuk melindungi sungai dari pencemaran yang datang dari ladang pertanian di sekitarnya. Hasilnya terjadi penurunan kadar nitrat dari 50-100 ppm menjadi <5 ppm. Pada skala pilot, terbukti pula poplar mampu mereduksi atrazin sebesar 10-20%. Pada proyek lain di Beaverton, OR, poplar ditanam sebagai penutup suatu area landfill untuk mencegah penyebarab leachate. Di McMinnville, OR, aplikasi poplar secara skala penuh diterapkan untuk menyerap leachate dari suatu landfill.

 

 

3.2. Sistem Lahan Basah Buatan untuk Perbaikan Kualitas Air

 

3.2.1. Pemilihan jenis tanaman

 

Banyak desain awal pengolah limbah menggunakan tumbuhan timbul untuk mengolah limbah. Hasil analisis sistem pengolah limbah tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan berperan sebagai tempat penyimpanan sementara, melalui proses transformasi dan pemisahan polutan yang terjadi dalam substrat (Nichols, 1983). Tumbuhan timbul sering ditanam pada media kerikil untuk merangsang serapan hara dan menciptakan kondisi yang cocok untuk oksidasi substrat, sehingga kemampuan sistem untuk mengolah limbah menjadi meningkat.

Kriteria umum untuk menentukan spesies tumbuhan lahan basah yang cocok untuk pengolah limbah belum ada, karena sistem yang berbeda memiliki tujuan dan standar yang berbeda. Hal yang patut dipertimbangkan dalam pemilihan tanaman adalah toleran terhadap limbah, mampu mengolah limbah, dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman terhadap limbah maka perlu diketahui konsentrasi nutrisi dalam limbah. Kemampuan dalam mengolah limbah meliputi kapasitas filtrasi dan efisiensi serapan nutrisi (Shutes et al., 1993). Tumbuhan timbul dan tumbuhan mengapung lebih banyak dipilih untuk digunakan dalam studi lahan basah buatan skala pilot. Jenis tumbuhan timbul Scirpus californicus, Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitomom, Pontederia cordata, Sagittaria lancifolia, dan Typha latifolia adalah yang terbaik digunakan pada sistem lahan basah buatan untuk mengolah limbah peternakan (Surrency, 1993). Phalaris, Spartina, Carex dan Juncus memiliki potensi produksi dan daya serap hara yang tinggi, penyebarannya luas, dan toleran terhadap berbagai macam kondisi lingkungan.

Spesies tumbuhan mengapung digunakan karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi, dan kemampuannya untuk langsung menyerap hara langsung dari kolom air (Reddy dan de Busk, 1985). Akarnya menjadi tempat filtrasi dan adsorpsi padatan tersuspensi dan pertumbuhan mikroba yang menghilangkan unsur-unsur hara dari kolom air.

Tanaman tenggelam tidak direkomendasikan pada pengolah limbah, karena produksinya rendah, banyak spesies yang tidak tahan terhadap kondisi eutrofik dan memiliki efek yang merugikan bagi alga dalam kolom air (Hammer dan Bastian, 1989). Namun tumbuhan tenggelam mungkin memiliki peran yang penting bila dikombinasikan dengan jenis tanaman lain dalam sistem pengolah limbah.

 

3.2.2. Konfigurasi dasar

 

Disain sistem lahan basah buatan umumnya terdiri dari satu atau beberapa unit yang disebut dengan sel. Ukuran masing-masing sel dalam satu sistem adalah seragam, namun bervariasi antar satu sistem dengan sistem yang lain. Jumlah sel dalam satu unit pengolah limbah bervariasi, tergantung dari jenis atau asal limbah. Untuk limbah pertanian atau peternakan, jumlah sel sebanyak 3-4 buah yang disusun secara seri menghasilkan reduksi efluen paling banyak (Surrency, 1993). Untuk limbah leachate, Martin et al. (1993) menggunakan 10 sel yang disusun seri dan limbah dialirkan ke tiap sel pada permukaan secara gravitasi. Untuk limbah septik tank, Steiner et al. (1993) mengajukan beberapa alternatif jumlah sel dalam sistem lahan basah yang bisa berupa sel tunggal, dua sel disusun seri, atau multi sel yang disusun seri ataupun paralel. Sistem sel tunggal biasanya digunakan pada lokasi dimana limbah tidak dapat dibuang dengan cara perkolasi karena aliran air terlalu deras, pada permukaan air tanah yang dangkal, tanah dangkal diatas batuan cadas, atau pada tanah lempung yang impermeabel. Sistem dua sel yang disusun seri dapat digunakan pada lokasi dimana tanah memungkinkan air limbah merembes ke bawah. Sel pertama diberi lapisan kedap air, sedangkan sel kedua tidak diberi lapisan kedap air agar air limbah dapat merembes dan mengurangi aliran buangan. Secara umum, sistem lahan basah multi sel untuk pengolah limbah memungkinkan operasi lebih fleksibel, dan dapat dibuat menurut topografi lahan.

 

3.2.3. Tipe aliran air

 

Sistem lahan basah bisa menggunakan aliran aliran air dalam (submerged flow) ataupun aliran air permukaan (surface flow). Sistem aliran air dalam biasanya mengandung substrat berpori, karena sistem ini didisain dan dioperasikan untuk menghindari air diam (standing water). Shutes et al. (1993) menganjurkan agar efluen di alirkan ke sistem secara aliran air dalam agar terjadi kontak yang maksimal antara limbah dengan substrat dan akar/rizoma tanaman, sehingga didapat hasil pengolahan limbah yang maksimal.

 

3.2.4. Ketinggian air

 

Steiner et al. (1993) merekomendasikan ketinggian air sekitar 30 cm. Sel yang dangkal dipercaya memiliki aerasi limbah yang lebih baik daripada sel yang dalam. Selain itu, akar akan lebih banyak berada di bagian atas substrat dimana oksigen tersedia lebih banyak. Pengontrolan ketinggian air juga diperlukan untuk menumbuhkan tanaman dan menghindari air diam.

 

3.2.5. Substrat

 

Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu. Batuan sungai berbentuk bulat lebih disukai karena menghindari substrat mengeras. Pasir atau campuran kerikil/pasir merupakan alternatif yang baik. Batuan kapur tidak direkomendasikan karena mudah mengeras. Diameter kerikil yang digunakan berkisar antara 0,5-1,3 cm, bahkan ada yang menggunakan ukuran 5,0 cm, tetapi ukuran kerikil yang kecil diyakini lebih mendukung pertumbuhan tanaman. Sel terakhir dari sistem pengolah limbah lahan basah buatan biasanya berisi filter pasir. Selain kerikil dan pasir, bisa juga digunakan substrat yang mengandung tanah lempung dan lumpur (Martin et al., 1993). Hasil penelitian Surface et al., (1993) menunjukkan bahwa sel yang berisi media campuran pasir dan kerikil (diameter pasir 0,05 cm dan diameter kerikil 0,5-1 cm) paling efektif menurunkan BOD dan NH4+ hingga 70%. Substrat yang digunakan sebaiknya dicuci lebih dahulu untuk menghindari partikel halus yang dapat menyumbat ruang pori substrat sehingga terjadi aliran permukaan. Substrat dibuat sejajar dengan permukaan air untuk mengontrol ketinggian air, memudahkan penanaman, dan menghindari air diam. Ukuran pori diantara substrat hendaknya cukup besar untuk dilewati aliran air secara fisik. Muatan bahan organik secara berlebihan dapat menyebabkan penyumbatan substrat, karena terbentuk lapisan lendir anaerobik. Steiner et al. (1993) menyarankan agar menggunakan loading organik sebesar 4 m2/kg/hari. Pada sistem lahan basah yang tidak menginginkan perkolasi air, permukaan dasar sistem bisa terdiri dari tanah lempung padat (compacted clay). Sistem ini menjaga agar ketinggian permukaan air tetap pada level yang diinginkan (Martin et al., 1993).

 

 

3.3. Prospek Fitoremediasi

 

Walaupun teknologi fitoremediasi masih dalam tahap perkembangan dan banyak hal belum terjawab, namun minat peneliti dan perusahaan komersial cukup besar untuk ikut di dalam pengembangan dan penerapan komersial dari teknologi ini. David Glass Associates, Inc., sebuah perusahaan konsultan fitoremediasi, mempunyai estimasi bahwa pasar AS untuk teknologi ini dapat mencapai US$25-40 juta pada tahun 2000 dan lebih dari US$100 juta pada 2005. Potensi pasar ini mendorong dibentuknya perusahaan yang khusus bergerak dalam fitoremediasi, seperti Phytotech, PhytoWorks, dan Phytokinetics (Reuther, 1999). Beberapa dari proyek di lapangan yang digarap oleh perusahaan-perusahaan komersial itu telah dibahas di atas.

Faktor pendorong bagi penerapan fitoremediasi adalah biaya yang relatif murah dibanding dengan teknologi berbasis fisika dan kimia. Cunningham dari DuPont mengestimasi biaya remediasi situs yang terkontaminasi adalah sebesar US$10-100 per m³ dengan cara in situ hingga US$30-300 per m³ dengan cara ex situ; sedangkan biaya fitoremediasi hanya sebesar US$0,05 per m³ (Watanabe, 1997). Contoh lain adalah biaya remediasi fasilitas militer yang terkontaminasi bahan peledak (Buckley, 2000). Remediasi bahan peledak dari air dengan menggunakan carbon treatment dapat mencapai US$8 juta untuk pembangunan fasilitasnya dan US$1,5 juta untuk operasi dan pemeliharaan. Di pihak lain, remediasi dengan secara lahan basah memerlukan biaya sebesar US$450.000 per ha untuk pembangunan fasilitasnya dan US$20.000 setahun untuk biaya operasi dan pemeliharaan.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tumbuhan dan mikroorganisme yang besar. Dalam suatu pertemuan yang diadakan di LIPI, Bandung, sebuah tim peneliti dari Inggris mengungkapkan bahwa mereka berhasil mengisolasi >120 jenis mikroorganisme dari segumpal tanah yang mereka peroleh dari lantai hutan di Ujung Kulon. Dan beberapa di antara mikroorganisme tersebut mempunyai kemampuan untuk mendegradasi xenobiotika seperti senyawa organik aromatik berkhlor. Hal ini menunjukkan potensi alam Indonesia yang perlu dimanfaatkan.

Dalam hubungannya dengan pemanfaatan tumbuhan sebagai agensia pemulihan lingkungan tercemar, mengutip laporan Departemen Energi AS, Watanabe (1997) mengemukakan prasyarat, yaitu:

laju akumulasi harus tinggi, bahkan di lingkungan yang berkadar kontaminan rendah

kemampuan mengakumulasi kontaminan dengan kadar tinggi

kemampuan mengakumulasi beberapa macam logam

tumbuh cepat

produksi biomassa tinggi

tahan hama dan penyakit

Sebuah tim di Direktorat Teknologi Lingkungan, BPPT, sedang mengadakan pengkajian penerapan potensi fitoremediasi untuk memulihkan lingkungan tercemar, khususnya yang tercemar logam berat. Pada pengkajian ini tahap pemilihan tumbuhan yang mempunyai daya serap dan akumulasi tinggi terhadap logam berat merupakan priorotas yang sangat penting. Karena walaupun telah disebutkan sebelumnya bahwa beberapa tumbuhan bersifat hiperakumulator, namun kebanyakan tumbuhan tersebut berasal dari wilayah beriklim sedang. Sehingga perlu dicari tumbuhan asli yang tentunya sudah beradaptasi baik dengan iklim Indonesia.

 

 

4. Kesimpulan

 

 

Fitoremediasi merupakan suatu sistem remediasi yang menarik namun masih merupakan teknologi yang sedang berada dalam tahap awal perkembangannya. Kemajuan dalam pemahaman berbagai disiplin ilmu, terutama dalam fisiologi tumbuhan dan genetika akan mendorong perkembangan teknologi ini secara lebih cepat. Sebagai suatu teknologi yang sedang berkembang, fitoremediasi telah menarik banyak pihak termasuk peneliti dan pengusaha. Di Indonesia masalah pencemaran terus dihadapi sesuai dengan kemajuan industri sehingga usaha remediasi serta pencegahan pencemaran perlu diperhatikan. Fitoremediasi diharapkan dapat memberikan sumbangan yang nyata dan praktis bagi usaha mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan di Indonesia.

 

 

5. Pustaka

 

 

Anonimous. 1999a. Phytoremediation technologies. URL: http://www.phytotech.com/index.html (Diakses 29 Mei 1999).

Anonimous. 1999b. Cool Word of the Day. The Learning Kingdom, Inc. URL: http:// www.cool_fact.com/archive/1999/08/24.html (24 Agustus 1999; diakses Juni 2000).

Baker, A.J.M. 1999. Metal hyperaccumulator plants: a biological resource for exploitation in the phytoextraction of metal-polluted soils. URL: http://lbewww.epfl.ch/COST837/ WG2_abstracts.html (21 April 1999; diakses Mei 2000).

Barko, J.W., Hardni, D.G., dan Matthews, M.S. 1982. Growth and morphology of submerged macrophytes in relation to linght and temperature. Can. J. Bot. 60:877-887.

Batianoff, G.N., R.D. Reeves dan R.L. Specht. 1990. Stackhousia tryonii Bailey: a nickel-accumulating serpentine-endemic species of central Queensland. Aust. J. Bot. 38:121-130.

Blaylock, M.J., D.E. Salt, S. Dushenkov, O. Zakharova, C. Gussman, Y. Kapulnik, B.D. Ensley dan I. Raskin. 1997. Enhanced accumulation of Pb in Indian mustard by soil-applied chelating agents. Environ. Sci. Technol. 31:860-865.

Bowmer, K.H. 1987. Nutrient removal from effluents by an artificial wetland: influence of rhizosphere aeration and preferential flow studied using bromide and dye tracers. Water Res. 21:591-599.

Buckley, M. 2000. Research Demonstrates Potential of Plants to Break Down Some Types of Explosives. URL: http://aec-www.apgea.army.mil:8080/prod/usaec/op/update/jan96/plants. htm (14 January 2000; diakses Mei 2000).

Chaney, R.L., M. Malik, Y.M. Li, S.L. Brown, E.P. Brewer, J.S. Angle dan A.J.M. Baker. 1997. Phytoremediation of soil metals. Publikasi di web site (Diakses 15 April 2000).

Collins, C.D. 1999. Strategies for minimizing environmental contaminants. Trends Plant Sci. 4:45.

Finlayson, C.M., dan Chick, A.J. 1983. Testing the potential of aquatic plants to treat abbatoir effluents. Water Res. 17:415-422. Gardner, 1998. Phytoremediation. URL: http://www.rr.ualberta.ca/courses/renr575/ phyto.htm (18 Oktober 1998; diakses 24 Juni 2000).Gersberg, R.M., Elkins, B.V., Lyon, S.R., dan Goldman, R. 1986. Role of aquatic plants in wastewater treatment by artificial wetlands. 20:363-368. Grant, C.A., W.T. Buckley, L.D. Bailey, and F. Selles. 1998. Cadmium accumulation in crops. Ca. J. Plant Sci. 78:1-17.Guntenspergen, G.R., F. Stearn, dan J.A. Kadlec. 1989. Wetland vegetation. Dalam Hammer, D.A. (Ed). Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. Municipal, Industrial and Agricultural. Lewis Publishers, Michigan. hlm 73-88. Gwozdz, E.A., R. Przymusinski, R. Rucinska, and J. Deckert. 1997. Plant cell responses to heavy metals: molecular and physiological aspects. Acta Physiol. Plant. 19:459-465.Hammer, D.A., dan Bastian, R.K. 1989. Wetlands ecosystems: natural water purifiers?. Dalam Hammer, D.A. (Ed). Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. Municipal, Industrial and Agricultural. Lewis Publishers, Michigan. hlm 5-10. Haslam, S.M.1978. River Plants. Cambridge University Press, Cambridge. 396 hlm.Huang, J.W.W., J.J. Chen, W.R. Berti dan S.D. Cunningham. 1997. Phytoremediation of lead-contaminated soils: role of synthetic chelates in lead phytoextraction. Environ. Sci. Technol. 31:800-805.Kramer, U., J.D. Cotter-Howells, J.M. Charnock, A.J.M. Baker, J.A.C. Smith. 1996. Free histidine as a metal chelator in plants that accumulate nickel. Nature. 379:635-638. [Abstrak]Laksham, G. 1979. An Ecosystem approach to the treatment of wastewater. J. Environ. Qual. 8:353-361. Marschner, H. dan V. Romheld. 1994. Strategies of plants for aquisition of iron. Plant Soil. 165:261-274.Martin, C.D., Moshiri, G.A. dan Miller, C.C. 1993. Mitigation of landfill leachate incorporating in-series constructed wetlands of a closed-loop design. Dalam Moshiri, G.A. (Ed.). Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida. 533 hlm. McGrath, S.P., Z.G. Shen, dan F.J. Zhao. 1997. Heavy metal uptake and chemical changes in the rhizosphere of Thlaspi caerulescens and Thlaspi ochroleucum grown in contaminated soils. Plant Soil. 188:153-159.Morishita, T. dan J.K. Boratynski. 1992. Accumulation of cadmium and other metals in organs of plants growing around metal smelters in Japan. Soil Sci. Plant Nutr. 38:781-785.Nichols, D.S. 1983. Capacity of natural wetlands to remove nutrients from wastewater. J. Water Pollut. Control Fed. 55:495-505.Pierzynski, G.M. dan A.P. Schwab. 1993. Bioavailability of zinc, cadmium, and lead in a metal-contaminated alluvial soil. J. Environ. Qual. 22:247-254. Prasad, N.M.V. dan H.M. de Oliviera-Freitas. 1999. Feasible biotechnological and bioremediation strategies for serpentine and mine spoils. Environ. Biotechnol. Vol. 2, No. 1, April 15, 1999. Dimuat di Electronic Journal Biotechnology. URL: http://www.ejb.org/content/vol2/issue1/ full/5/index.html (Diakses 28 Juni 2000). Priyanto, B. dan T. Suryati. 2000. Kandungan beberapa jenis logam berat di tanah yang digunakan untuk pertanian di Jakarta dan sekitarnya. Data belum dipublikasikan.Reddy, K.R., dan DeBusk, W.F. 1985. Nutrient removal potential of selected aquatic macrophytes. J. Environ. Qual. 14:459-462. Reeves, R.D., R.R. Brooks dan R.M. Macfarlane. 1981. Nickel uptake by Californian Streptanthus and Caulanthus species with particular reference to the hyperaccumulator S. polygaloides Gray (Brassicaceae. Amer. J. Bot. 68:708-712.Reuther, C. 1998. Growing cleaner. Phytoremediation goes commercial, but many question remain. URL: http://sapphire.acnatsci.org/erd/ea/phyto.html. (5 Maret 1998; diakses: 4 Juni 2000) Rule, J.H. dan M.S. Iwashchenko. 1998. Mercury concentrations in soils adjacent to a former chlor-alkali plant. J. Environ. Qual. 27:31-37.Salt, D.E., R.C. Prince, I.J. Pickering, I. Raskin. 1995. Mechanism of cadmium mobility and accumulation in Indian mustard. Plant Physiol. 109:1427-1433. [Abstrak]Schnoor, J.L., L.A. Licht, S.C. McCutcheon, N.L. Wolfe dan L.H. Carreira. 1995. Phytoremediation of organic and nutrient contaminants. Environ. Sci. Technol. 29:318A-323A.Sculthorpe, C.D. 1969. The Biology of Aquatic Vascular Plants. Edward Arnold Ltd., London. 610 hlm.Shutes, R.B., Ellis, J.B., Revitt, D.M. dan Zhang, T.T. 1993. The use of Thypa latifolia for heavy metal pollution control in urban wetlands. Dalam Moshiri, G.A. (Ed.). Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida. 533 hlm. Sparling, J.H. 1966. Studies on the relationship between water movement and water chemistry in mires. Can. J. Bot. 4:747-758. Steiner, G.R., Watson, J.T., dan Choate, K.D. 1993. General Design, construction, and operation guidlines for small constructed wetlands wastewater treatment systems. Dalam Moshiri, G.A. (Ed.). Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida. 533 hlm. Surrency, D. 1993. Evaluation of aquatic plants for constructed wetlands. Dalam Moshiri, G.A. (Ed.). Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida. 533 hlm.Storm, G.L., G.J. Fosmire dan E.D. Bellis. 1994. Persistence of metals in soil and selected vertebrates in the vicinity of the Palmerton zinc smelters. J. Environ. Qual. 23:508-514.Surface, J.M., Peverly, J.H., Steenhuis, T.S., dan Sanford, W.E. 1993. Effect of season, substrate composition, and plant growth on landfill leachate treatment in a constructed wetland. Dalam Moshiri, G.A. (Ed.). Constructed Wetlands for Water Quality Improvement. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida. 533 hlm. Watanabe, M. 1997. Phytoremediation on the brink of commercialization. Environ. Sci. Technol. 31:182A-186A. Zhu, Y.L., E.A.H. Pilon-Smits, L. Jouanin dan N. Terry. 1999. Overexpression of glutathione synthetase in Indian mustard enhances cadmium accumulation and tolerance. Plant Physiol. 119:73-79.

Tabel 1. Data tumbuhan yang dilaporkan bersifat hiperakumulator atau toleran logam berat (Prasad dan Oliviera-Freitas, 1999)Nama tumbuhanFamiliaNama tumbuhanFamiliaAcer saccharinumAceraceae B. hordeaceus BrassicaceaeAeollanthus biformifoliusLamiaceae Bromus ramosus PoaceaeAgrostis capillaris PoaceaeCalystegia sepium ConvolvulaceaeA. giganteaPoaceaeCarex echinata CyperaceaeA. stoloniferaPoaceaeChrysanthemum morifolium AsteraceaeA. tenuisPoaceaeCochleria pyrenaica Brassicaceae Alyssum bertoloniiBrassicaceaeColocasia esculenta AraceaeA. lesbiacumBrassicaceaeCynodon dactylon PoaceaeA. montanumBrassicaceaeDanthonia decumbens PoaceaeA. muraleBrassicaceaeD. linkii PoaceaeA. pintodasilaveBrassicaceaeDatura innoxia SolanaceaeA. serpyllifolium

sub sp. malacinatumBrassicaceaeDeschampsia caespitosa Poaceae Amaranthus retroflexusAmaranthaceaeEchinochloa colona PoaceaeAnthoxanthum odoratum PoaceaeEpilobium hirsutum OngraceaeArabidopsis thaliana BrassicaceaeEriophorum angustifloliumCyperaceaeArmeria maritima

sub. sp. elongata Plumbaginaceae Eschscholtzia californica Papaveraceaesub. sp. halleri PlumbaginaceaeFagopyrum esculentum Poaceaesub. sp. maritima PlumbaginaceaeFagus sylvatica FagaceaeArrhenatherum pratensis PoaceaeFestuca Rubra PoaceaeAstragalus racemosus Fabaceae Fraxinus angustifolia Oleaceae Avenella flexuosa Poaceae Gossypium hirsutum MalvaceaeBerkheya coddi AsteraceaeHaumaniastrum katangense LamiaceaeBetula papyrifera BetulaceaeHelianthus annuus Asteraceae B. pendula BetulaceaeHolcus lanatus PoaceaeB. pubescens BetulaceaeHordelymus europaeus PoaceaeBrachypodium sylvaticumPoaceaeHydrangea Hydrangeaceae Brassica juncea BrassicaceaeHydrocotyl umbellata ApiaceaeB. napus BrassicaceaeLimnobium stoloniferumLolium multiflorum PoaceaeSalix viminalis SalicaceaeL. perenne PoaceaeSebertia acuminata SapotaceaeMacadamia neurophylla ProteaceaeSilene compactaCarophyllaceaeMedicago sativa FabaceaeS. cucubalus CarophyllaceaeMelilotus officinalis FabaceaeS. italica CarophyllaceaeMimulus guttatus CaryophyllaceaeSolanum nigrum Solanaceae Minuartia ********

****************

*************ifoliumBrassicaceaeQ.ilex FagaceaeThinopyrum bessarabicum PoaceaeRanunculus baudotti Ranunculaceae Trifolium pratense FabaceaeRauvolfia serpentina ApocynaceaeT. repens Fabaceae Ricinus communis EuphorbiaceaeViola arvensis ViolaceaeRumex hydrolapathum PolygonaceaeV. calaminaria ViolaceaeTabel 2. Kadar logam di dalam tumbuhan hiperakumulator

LogamSpesies tumbuhanKadar pada daun dan atau batang (mg/kg BK)SumberCdThlaspi caerulenscens

Athyrium yokoscense

1.800

 

996

Gardner, 1998

Morishita & Boratynski, 1992CuIpomoea alpina

12.300

Gardner, 1998CoHaumaniastrum robertii

10.200

Gardner, 1998PbT. rotundifolium

8.200

Gardner, 1998MnMacadamia neurophylla

51.800

Gardner, 1998NiPsychotria douarrei

Sebertia acuminata

Stackhousia tryonii

Streptanthus polygaloides

47500

 

25% (BK lateks)

 

22.000

 

14.800

Gardner, 1998

Gardner, 1998

Batianoff et al., 1992

Reeves et al., 1981ZnT. caerulenscens

51.600

Gardner, 1998 Tabel 3. Tumbuhan yang digunakan pada lahan basah buatan untuk pengolah limbah

TimbulTenggelamMengambangScirpus robustusEgeria densaLagorosiphon majorScirpus lacustrisCeratophyllum demersumSalvinia rotundifoliaSchoenoplectus lacustrisElodea nuttaliiSpirodela polyrhizaPhragmites australisMyriophyllum aquaticumPistia stratiotesPhalaris arundinaceaLemna minorTypha domingensisEichhornia crassipesTypha latifolia Wolffia arrhizaCanna flaccidaAzolla carolinianaIris pseudacorusHydrocotyle umbellataScirpus validusLemna gibbaScirpus pungensLemna spp.Glyceria maximaEleocharis dulcisEleocharis spachelataTypha orientalisZantedeschia aethiopicaColocasia esculenta